Ada yang pernah menonton film “In Time”? Film yang dibintangi Justin Timberlake, sebagai Will Salas, ini memberi definisi baru terhadap frase “waktu adalah uang”.
Ya, dalam dunia di mana Will tinggal, manusia diberi waktu 25 tahun untuk hidup ‘normal’, selanjutnya jam digital di tangan mereka akan mulai menghitung mundur. Waktu bertambah ketika mereka bekerja dan berkurang ketika digunakan untuk transaksi, sama halnya seperti uang. Sekali waktunya habis, maka tamat pula riwayatnya.
Bayangkan jika kita benar-benar bisa melihat berapa sisa waktu yang kita punya?! Saya yakin cara hidup kita akan sama sekali berbeda.
Nyatanya, waktu adalah komoditi yang paling sering diboroskan, padahal waktu berada di puncak daftar “sumber daya yang tidak dapat diperbaharui”.
Saya sangat tertarik dengan istilah yang menjadi tren beberapa waktu belakangan, yaitu “procrastination”.
Sounds familiar?
Definisi sederhananya: procrastination adalah perilaku melakukan hal yang menyenangkan dahulu dan menunda hal yang penting.
Dalam ilmu psikologi, para pelaku procrastination seringkali dihubungkan dengan faktor kecemasan berlebihan, rendahnya kepercayaan diri, dan psychological disorder, seperti depresi.
Namun kini terjadi pelemahan dan penurunan makna procrastination, dari indikasi psikologis yang perlu bantuan medis menjadi legitimasi untuk kemalasan dan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan.
Well, well,
life is such a choice.
It’s including how we spend our very very very precious time…
Sayangnya, masa hidup manusia adalah misteri yang tidak akan pernah bisa dipecahkan. Seperti bunga yang mekar di waktu pagi dan layu di sore hari, itulah manusia. Hidup manusia sama seperti uap yang sangat mudah hilang.
Sungguh, bukan maksud saya bahwa manusia tidak boleh bersenang-senang. Hanya saja waktu kita terlalu sempit dan berharga untuk diisi dengan hal yang tidak bermanfaat.
Definisi ‘bermanfaat’ kembali lagi pada setiap pribadi. Tentu tidak sama bagi setiap orang. Tak apa. Lakukanlah selama itu membawa kebaikan dan pertumbuhan, bukannya kemunduran dan kehancuran diri sendiri.
“Hidup cuma sekali, tapi ketika dijalani dengan maksimal, maka sekali saja cukup.”
Ya, dalam dunia di mana Will tinggal, manusia diberi waktu 25 tahun untuk hidup ‘normal’, selanjutnya jam digital di tangan mereka akan mulai menghitung mundur. Waktu bertambah ketika mereka bekerja dan berkurang ketika digunakan untuk transaksi, sama halnya seperti uang. Sekali waktunya habis, maka tamat pula riwayatnya.
Bayangkan jika kita benar-benar bisa melihat berapa sisa waktu yang kita punya?! Saya yakin cara hidup kita akan sama sekali berbeda.
Nyatanya, waktu adalah komoditi yang paling sering diboroskan, padahal waktu berada di puncak daftar “sumber daya yang tidak dapat diperbaharui”.
Saya sangat tertarik dengan istilah yang menjadi tren beberapa waktu belakangan, yaitu “procrastination”.
Sounds familiar?
Definisi sederhananya: procrastination adalah perilaku melakukan hal yang menyenangkan dahulu dan menunda hal yang penting.
Dalam ilmu psikologi, para pelaku procrastination seringkali dihubungkan dengan faktor kecemasan berlebihan, rendahnya kepercayaan diri, dan psychological disorder, seperti depresi.
Namun kini terjadi pelemahan dan penurunan makna procrastination, dari indikasi psikologis yang perlu bantuan medis menjadi legitimasi untuk kemalasan dan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan.
Well, well,
life is such a choice.
It’s including how we spend our very very very precious time…
Sayangnya, masa hidup manusia adalah misteri yang tidak akan pernah bisa dipecahkan. Seperti bunga yang mekar di waktu pagi dan layu di sore hari, itulah manusia. Hidup manusia sama seperti uap yang sangat mudah hilang.
Sungguh, bukan maksud saya bahwa manusia tidak boleh bersenang-senang. Hanya saja waktu kita terlalu sempit dan berharga untuk diisi dengan hal yang tidak bermanfaat.
Definisi ‘bermanfaat’ kembali lagi pada setiap pribadi. Tentu tidak sama bagi setiap orang. Tak apa. Lakukanlah selama itu membawa kebaikan dan pertumbuhan, bukannya kemunduran dan kehancuran diri sendiri.
“Hidup cuma sekali, tapi ketika dijalani dengan maksimal, maka sekali saja cukup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar